Sabtu, 03 Oktober 2015

Aset Bernama Budak

Sepak bola telah menjadi sebuah industri yang sangat menggiurkan di dunia. Semua klub berlomba menjadi yang terbesar baik dalam perolehan gelar maupun pendapatan. Setiap pemain bersaing menjadi yang terhebat agar bisa menobatkan diri sebagai pemain dengan nilai tinggi saat masuk bursa transfer, maupun ketika disodorkan kontrak oleh kub dan sponsor.

Perputaran uang di dunia sepak bola luar biasa besar, sejalan dengan value atau nilai serta pendapatan sebuah klub. Semakin tinggi value klub, semakin tinggi pula revenue dan semakin banyak juga celah untuk mengeruk pendapatan.

Menurut Football Benchmark ada tiga wilayah utama pendapatan untuk sebuah klub sepak bola yakni dari Matchday Revenue yang dihasilkan dari pertandingan home melalui penjualan tiket, Broadcast Revenue dari hak siar di liga dan kompetisi lain termasuk ajang internasional, serta Commercial Revenue dari sponsorship, merchandising, licensing, dll.

Kita ambil contoh Real Madrid. Klub ini kerap dinobatkan sebagai klub terkaya di dunia. Pada Mei 2015, value atau nilai klub ini mencapai 3,263 miliar dolar AS atau sekitar 48 triliiun rupiah, jumlah yang lebih besar dari APBN Indonesia 2015 untuk biaya ketertiban dan keamanan yang sebesar 46,1 triliiun rupiah. Value Real Madrid itu didapat dari match day yakni penjualan tiket pertandingan sebesar 608 juta dolar AS, hak siar 1,091 miliar dolar, nilai komersial 1,1 miliar dolar, serta brand 464 juta dolar.

Value tersebut tentu bukan hanya karena 32 gelar juara La Liga yang telah didapat Real Madrid, dan bukan pula sekedar pengoleksi La Decima yakni 10 gelar gelar di Liga Champions, tetapi nilai Real Madrid muncul dari berbagai ekploitasi binis yang dilakukan termasuk memanfaatkan imej para pemain dalam mendapatkan sponsor, serta pengembangan program lisensi dan merchandising terutama berupa replika ofisial jersey pertandingan oleh Adidas.

Seorang ahli keuangan di Inggris, Christine Cooper, dalam sebuah tulisan Insolvency practice in the field of football juga menegaskan bahwa The most important asset of a football club is its cultural capital (football skills), reflected by the economic benefits generated by competing in the most prestigious competitions.

Aset terpenting dalam sebuah tim adalah kemampuan atau kekuatan tim itu sendiri, terutama kekuatan tim di dalam lapangan yang direfleksikan oleh penampilan para pemain. Hal itu menjadi keuntungan ekomomi bagi klub karena jika klub kuat maka suporter akan datang membeli tiket, berbagai gelar bisa diraih, dan dengan sendirinya sponsor berdatangan menawarkan uang.

Benah merahnya keberadaaan pemain di sebuah klub itu sangat penting karena benar-benar bisa mempengaruhi pendapatan klub tersebut. Kembali ke contoh kasus Real Madrid. Setelah membeli David Beckham dari Manchester United pada 2003 dengan nilai transfer 25 juta pound, pendapatan Real Madrid dari merchandise yakni penjualan jersey saja meningkat hingga 67% di musim pertama Beckham di klub itu.

Beckham effect  juga mempengaruhi nilai kontrak Real Madrid dengan para sponsor kala itu seperti Siemens, Adidas, dan Pepsi yang bernilai sekitar 80 juta pound per tahun. Pendapatan dari penjualan tiket naik menjadi 48 juta pound (26%), begitu pula dari hak siar menjadi 44 juta pound (24%), dan 16 juta pound (8%) dari aktivitas promosi seperti tur pra-musim dan pertandingan di luar negeri.

Pengeluaran Real Madrid untuk gaji para pemain sendiri per tahun waktu itu adalah 98 juta pound atau 52% dari omset. Artiya pemain benar-benar ditempatkan sebagai aset terpenting karena faktanya mereka yang benar-benar bisa mempengaruhi pendapatan dan kelangsungan sebuah klub.

Situasi tersebut berbeda 180 derajat, layaknya langit dan bumi jika melihat kondisi di tanah air. Padahal tanggung jawab pemain di lapangan di belahan bumi mana pun sama yakni latihan, bermain, dan memberikan efek yang bagus di lapangan agar suporter selalu datang membeli tiket, serta turut memberi imej yang baik agar sponsor berdatangan.

Ironisnya meski jatuh bangun dan bersimbah peluh di lapangan, sebagian besar pemain di sepak bola Indonesia justru tidak diperlakukan sebagai aset. Mereka diperas tenaga dan waktunya, tetapi tidak diperhatikan kebutuhan pokoknya terutama makanan, tempat tinggal, dan gajinya ditunggak. Beberapa klub bahkan hingga tega tidak membayarkan gaji yang tertunggak kepada pemain.

Pemain bekerja keras untuk memberi pendapatan kepada klub, tetapi klub tidak memberikan haknya kepada pemain, dan ini tak beda dengan perbudakan. Tentu ada yang salah dalam hal ini, terutama sistem dan kapabilitas manajemen di balik pengelola klub jika sampai terjadi kasus-kasus seperti itu. Jadi, jangan harap sepak bola kita bisa maju dan menuju industri jika hal yang paling mendasar yakni menjaga aset terpenting dalam tatanan sepak bola dalam hal ini pemain, tidak mereka lakukan.

1 komentar: