Jumat, 25 Desember 2015

Peristiwa 10 Tahun Lalu

Pada awalnya saya agak sedikit ragu untuk menulis artikel ini, tetapi saya sempat berdiskusi dengan beberapa teman-teman The Jak Mania, dan akhirnya saya di desak untuk membuat artikel ini. Banyak sekali pertimbangan untuk membuat artikel ini, hampir sekitar 2 tahun saya mempertimbagkan artikel ini.

Pada akhirnya saya mencoba untuk memberanikan diri membuat artikel yang sedikit sensitif ini, karena menyangkut rivalitas ke dua tim besar.

Oke, tahun 2005, kira-kira sekitar 10 tahun lalu pristiwa ini terjadi. Pristiwa yang menimpa seorang anak kecil, yang lugu dan belum banyak mengerti tentang sepak bola dalam negeri.

Anak kecil yang masi ingusan dan beraroma matahari, berumur masi belasan tahun. Iya, anak itu mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya (kekerasan fisik). Dan anak ini belum memahami tentang rivalitas antara dua tim besar di Indonesia. Siapa lagi kalau bukan rivalitas antara Persija Jakarta dengan Persib Bandung.

Ya, anak kecil, ingusan dan beraroma matahari itu saya sendiri. Sekitar umur 13 tahun, saya pernah membela panji kebesaran warga Bandung, walaupun itu hanya sekelas piala Suratin atau junior. Saya membawa Persib junior menjadi jawara di Indonesia, ya walau hanya sekelas junior, patut saya banggakan. Hhemmm...

Saat itu posisi saya sudah terdaftar sebagai siswa sekolah atlet Ragunan, seperti biasa disaat hari libur seperti Sabtu dan Minggu saya di ijinkan untuk IBL (Ijin Bermalam di Luar) dan pada hari Minggu malam saya harus kembali lagi ke asrama Ragunan, untuk menjalankan rutinitas seperti biasanya (Sekolah dan Berlatih).

Biasanya pada saat IBL, saya menghabiskan waktu bersama kedua orang tua saya dan juga abang (kaka laki-laki) saya, terkadang saya juga menyempatkan diri bermain bersama teman-teman yang ada di komplek sekitar rumah orang tua saya.

Pada suatu ketika, saya pergi bermain futsal bersama teman rumah di daerah yang letaknya tidak begitu jauh dari komplek rumah orang tua saya. Dan pada saat itu saya merasa sesuatu yang tidak beres. Dengan percaya diri saya keluar rumah dan menuju lapangan futsal tersebut.

Sesampai di lokasi, saya duduk-duduk sendiri, sekalian menunggu waktu giliran tim saya bermain. Tidak lama berselang, ada dua orang pemuda menghampiri bocah ingusan yang beraroma matahari tersebut, bocah ingusan tidak menyadari ada dua pemuda menghampirinya.

Tanpa basa basi kedua pemuda tersebut menyekik dan memukul bocah ingusan yang sedang duduk tersebut, kedua pemuda tersebut sambil berteriak "buka baju lo", dan bocah itu tidak menyadari apa yang dia pake.

Tidak lama kemudian, keributan semakin meluas, karena memang banyaknya teman-teman saya yang membela, tetapi keributan tersebut tidak berlangsung lama, setelah petugas keamanan melerai. Setelah kejadian tersebut bocah itu menyadari, bahwa dia sedang mengenakan baju bertuliskan "Persib Aing Pisan".

Terkadang banyak orang yang tidak menyadari barang yang ia kenakan. Dan saya sebagai bocah (anak kecil) tersebut, berterimakasih atas teguran dari kalian yang pernah menaro stempel di wajah saya ini.

Dan saya hanya bisa bilang, "saya memakai baju Manchester City, bukan berarti saya fans Manchester City, saya tetap fans Manchester United".

Dan juga seperti pristiwa di atas. Bukan juga saya Viking atau Bobotoh, buktinya sampai saat ini walaupun saya pernah disakiti dan di caci, bahkan pernah di perlakukan dengan tidak sewajarnya, saya masi berdiri tegak untuk Persija....

Jumat, 27 November 2015

8angkit 7uara Persija

Malang, di suatu pagi buta, saat arlogi saya menunjukan pukul 1.57 WIB. Mungkin ini bukan waktu yang pantas untuk saya masi menulis artikel ini, karena menyadari saya seorang atlet yang masi aktif bermain.

Bertepatan hari ini tanggal 28 November 2015 akan di gelar pertandingan Arema vs Persija, pertandingan tersebut lanjutan dari babak penyisihan turnamen Piala Jendral Sudirman.

Memang kedua tim telah memastikan diri lolos ke babak delapan besar, setelah keduanya sama-sama belum pernah terkalahkan. Arema yang bertindak sebagai tuan rumah di PJS (Piala Jenderal Sudirman) berhasil mengumpulkan poin 9 dari tiga pertandingan.

Sementara Persija dengan sekuad mayoritas pemain-pemain barunya, berhasil mengumpulkan poin 6 dari dua pertandingan.

Arema sendiri mendapatkan poin 9 dari lawan-lawan sebagai berikut:
Vs Gersik United : 4-1
Vs PBR                 : 4-2
Vs Sriwijaya Fc   : 2-0

Dan ini hasil dari dua pertandingan Persija sebelum menghadapi Arema:
Vs PBR                 : 2-0
Vs Sriwijaya Fc    : 1-0
Dari dua pertandingan tersebut Persija belum menghadapi Gersik United dan Arema. Secara peraturan yang di gunakan PJS adalah dengan head to head, jadi faktanya bahwa Persija menang head to head dengan PBR dan Sriwijaya fc.

Pertandingan melawan Arema memang tidak terlalu menjadi beban untuk anak-anak Macan Kemayoran, karena Macan Kemayoran sudah di pastikan lolos ke babak delapan besar. Tetapi ini sebuah partai yang besar, dan gengsi. Partai ini juga selalu di tunggu oleh para pencinta sebak bola nasional karena kedua tim mempunyai rivalitas.

Selain itu, sama-sama kita tahu bahwa tanggal 28 November adalah hari dimana tim Ibu Kota di dirikan, paling tidak Macan Kemayoran tidak ingin memberi sebuah cerita yang pahit di hari ulang tahunnya.

Hari ini ulang tahun Persija yang ke-87, Macan Kemayoran sudah memberikan kado untuk The Jak Mania dari tiga hari yang lalu. Kado yang di berikan adalah kemenangan atas Sriwijaya fc dan sekaligus memastikan diri lolos ke babak delapan besar.

Tetapi saya tahu, kado itu tidak cukup untuk The Jak Mania, dan saya pun merasa demikian. Saya merasakan bahwa ini belumlah cukup di jadikan sebuah kado yang sepesial untuk kalian.

Dan saat ini kami sedang menyiapkan kado yang sepesial untuk kalian, kami juga berusaha sampai batas akhir kemampuan kami untuk memberikan sebuah kado yang sepesial untuk seporter yang setia dengan kami.

Tapi kami tau dari sebuah usaha pasti akan ada sebuah badai yang besar, kami selalu berusaha untuk bisa melewati badai tersebut. Seperti orang pintar bilang "Seorang nahkoda yang pandai berlayar, bukan terlahir dari lautan yang tenang. Nahkoda pandai terlahir di atas lautan dengan badai yang besar".

87 tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah klub, dengan panjangnya sejarah Persija dan segudang prestasinya. Banyak pemain telah di besarkan namanya, seperti Sucipto Suntoro, Sinyo Aliandoe,Yudi Hadiyanto, Surya Lesmana, Anjas Asmara, dan yang diera saat ini ada Ismed Sofyan dan juga Bambang Pamungkas. Itu hanya beberapa nama yang bisa saya sebutkan, masi banyak legenda Persija yang lain.

Prestasi yang engkau punya saat ini masi sangat sulit di lewati klub-klub lain di tanah air. Dengan 10 gelar juara liga dan salah satu tim yang tidak pernah turun kasta (Degradasi).

Dan sampai terakhir saya menulis artikel ini, saya sangat bangga pernah menjadi bagian tim ini. Karena semua ini adalah sebuah mimpi dari saya.

Selamat ulang tahun Persija Ku, dewasa bukan pilihan, tetapi sebuah keharusan.

#8angkit
#7uara

Selesai....

Minggu, 08 November 2015

Antara Asap di Jakarta dan Sepak Bola Indonesia

Sebuah pagi jelang bulan lalu berakhir, saya seperti biasa melakukan ”ritual” yang hampir tidak pernah terlewatkan. Saya membuat secangkir teh panas dengan sedikit gula plus ditemani semangkok bubur kacang hijau.

Terkadang menu makannya berganti, tetapi teh panas dengan sedikit gula selalu menemani pagi saya. Apa pun sarapannya, minumnya tetap teh panas dengan sedikit gula. Hehehe

Pagi itu, saat sedang menjalankan ”ritual” tersebut, saya melihat berita di salah satu stasiun televisi, tentang asap yang mulai menyerang Ibu Kota Jakarta. Saya agak terkejut dengan pemberitaan tersebut. Karena pada awalnya saya berpikir asap yang sedang melanda Kepulauan Riau, Sumatera, dan Kalimantan tidak akan menyerang Ibu Kota.

Memang asap yang menyelimuti Ibu Kota masih dalam level tidak berbahaya atau tipis, jauh jika dibandingkan dengan Sumatera, Kalimantan, dan Kepulauan Riau. Apalagi di tiga wilayah itu, banyak jatuh korban akibat terserang penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) atau gangguan pernapasan.

Sejauh ini korban jiwa  tercatat ada ribuan dan yang meninggal mencapai puluhan, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan balita. Selain itu, aktifitas di kota yang terselimuti asap menjadi lumpuh total. Salah siapa ini semua?

Bukankah seharusnya anak-anak kita bisa menikmati udara yang layak untuk dihirup? Bukankah generasi-generasi penerus bangsa ini semestinya bisa mengejar cita-citanya tanpa ada asap seperti sekarang?

Seharusnya, pemerintah mencari siapa dalang dari ”pewayangan” asap ini. Pemerintah harus cepat mencari solusi agar asap yang menyelimuti bangsa ini cepat hilang. Saya secara pribadi juga tidak pernah membayangkan bila asap di Ibu Kota semakin parah.

Roda pemerintahan dan perekonomian Bangsa Indonesia pasti semua akan lumpuh total. Bangsa ini akan merugi miliaran bahkan bisa sampai triliunan rupiah. Maka dari itu, sebelum semua semakin bertambah parah, coba kita cari jalan keluar untuk bencana ini agar tidak semakin meluas.

Tulisan saya di atas, potret yang hampir sama dengan sepak bola bangsa ini. Sepak bola kita seakan seperti Kepulauan Riau, Sumatera, atau Kalimantan. Awalnya, sepak bola kita seperti asap di Ibu Kota, tidak tebal dan masih dalam level tidak berbahaya.

Dampak tidak pernah di cari titik pusat masalahnya, akhirnya asap semakin naik levelnya. Yang seharusnya ada pada level sehat, tetapi saat ini level ”asap” di sepak bola kita menjadi sangat berbahaya.

Saat ini sudah banyak menjadi korban dari asap sepak bola kita, yang level ”asapnya” sudah sangat berbahaya. Sayang, semua ”dalang” masih sama-sama belum mengakhiri tragedy pewayangan ini. Semua masih sangat merasa menjadi Gatotkaca alias masih kuat. Semua seperti tidak merasakan ”asap” yang mereka hirup, seakan mereka mempunyai obat yang benar-benar paling mujarab untuk mengobati penyakit ISPA yang mengancamnya.

Mungkin, penyakit ISPA masih bisa kita cari obatnya. Tapi, nyawa manusia, apa ada yang menjual di toko obat Tiongkok?

Korban ”asap” sepak bola bangsa ini memang belum sebanyak korban asap di Riau, Sumatera, dan Kalimantan. Tetapi, apa kita harus menunggu banyak korban berjatuhan, baru kita akan mencari jalan keluar?

Saya pribadi berharap sudah cukup korban ”asap” di Riau, Sumatera, Kalimantan, dan sepak bola bangsa ini. Maka dari itu mari kita lawan ”asap” dan cari dalang dari semua ini. Mari sama-sama kita selesaikan cerita pewayangan ini demi Tanah Air yang lebih baik.

Selasa, 13 Oktober 2015

Ragunan, oh Ragunan...

Suatu hari ketika melakukan kunjungan kerja ke negara Meksiko pada 1972, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, menyempatkan diri mendatangani Sports Centre di Mexico City. Setelah mengamati pusat pelatihan dan pengembangan olahraga, Gubernur yang banyak melakukan banyak perubahan dalam pengembangan Jakarta menjadi kota metropolitan itu tercetus ide untuk membuat tempat serupa di Jakarta.

Empat tahun kemudian Ali Sadikin membangun Sekolah Atlet Ragunan yang kemudian diresmikan pada 15 Januari 1977 oleh Wakil Presiden kala itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sekolah tersebut berada di dalam kompleks Gelanggang Olahraga Ragunan, tidak jauh dari Kebun Binatang Ragunan yang telah berdiri lebih dulu sejak 1966. Bagi sebagian masyarakat, wilayah Ragunan memang lebih identik dengan kebun binatang yang hampir setiap minggu selalu ramai didatangi pengunjung, apalagi saat masa liburan Ragunan akan penuh sesak.

Sejarah Kebun Binatang Ragunan sendiri tidak dapat dipisahkan dari kebun binatang pertama di Indonesia yang dibangun pada 1864 di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, dengan nama Planten En Dierentuin yang berarti Tanaman dan Kebun Binatang. Pada akhirnya kebun binatang pemberian dari Raden Saleh itu pindah tempat setelah pada 1964 Pemerintah DKI menghibahkan tanah sekitar tiga puluh hektar untuk menjadi rumah bagi para satwa. Butuh waktu dua tahun pembangunan rumah satwa, dan pada 22 Juni 1966 Kebun Binatang Ragunan diresmikan oleh Ali Sadikin.

Kontur perhutanan di Ragunan membuat wilayah tersebut terasa sangat sejuk, termasuk di GOR (Gelanggang Olahraga). Saat berada di lokasi tersebut, terkadang saya tidak sadar masih berada di kota Jakarta. Memang tempat dan udaranya berbeda dengan wilayah Jakarta lainnya yang penuh dengan polusi. Maka dari itu GOR Ragunan cukup layak untuk sekedar mencari keringat pada pagi atau sore hari.

Kembali ke Sekolah Atlet Ragunan, dalam perjalannnya Diklat Ragunan banyak melahirkan atlet top yang mampu mengharumkan nama bangsa di kancah olahraga internasional. Pasangan peraih medali emas Olimpiade 1992 di Barcelona cabang bulu tangkis Alan Budikusuma dan Susy Susanti lahir dari gemblengan di Diklat Ragunan. Begitu juga juara dunia bulu tangkis 1983, Icuk Sugiarto.

Masih ada lagi pebulu tangkis Lius Pongoh, lantas petenis yang pernah menempati ranking 19 dunia, Yayuk Basuki, juga muncul dari Sekokah Atlet Ragunan. Begitu pun pepanah Nurfitriyana Saiman yang menyumbang medali pertama untuk Indonesia di Olimpiade bersama Lilies Handayani dan Kusuma Wardani pada Olimpiade 1988 di Seoul.

Di dunia sepak bola, Diklat Ragunan juga banyak menghasilkan pemain bagus dari generasi ke generasi yang bermain di top level sepak bola Indonesia seperti penjaga gawang Arema Malang Kurnia Meiga, pemain tengah Persipura Jayapura Rubben Sanadi dan Ian Lois Kabes, pemain Persib Bandung Abdul Rahman, serta pemain Persija Ramdani Lestaluhu. Dari generasi sebelumnya ada Sudirman, Samsidar, dan masih banyak lagi.

Saya pun lahir dari Diklat Ragunan, salah satu tempat yang membuat saya bisa seperti sekarang ini. Ketika kelas satu Sekolah Dasar saya masuk ke Sekolah Sepak Bola Jayakarta yang memang berlokasi di Ragunan dan masih ada sampai saat ini. Memasuki Sekolah Menengah Pertama, saya pindah ke Senayan dan bergabung dengan tim AS-IOP. Hanya saja ketika kelas tiga SMP, saya harus kembali ke Ragunan, tetapi bukan untuk balik ke Sekolah Sepak Bola yang pernah membesarkan saya, melainkan saya masuk ke Diklat Ragunan.

Ya, saya terdaftar sebagai siswa Sekolah Khusus Atlet SMP/SMA Ragunan. Empat tahun saya ditempa di sana untuk menjadi seorang atlet yang disiplin, bertanggung jawab, dan penuh percaya diri. Selain itu, saya banyak bertemu teman baru yang berasal bukan hanya dari pulau Jawa, tetapi dari Sabang sampai Merauke. Semua suku di Indonesia hampir ada di Ragunan kala itu. Namanya Ragunan, Diklat Ragunan dan Kebun Binatang Ragunan tidak jauh beda, sama-sama beragam. Hampir semua suku di Indonesia kumpul di Diklat dan hampir semua satwa kumpul di Kebun Binatang, Hehehe.

Diklat Ragunan memang menjadi tempat memupuk harapan bagi para atlet muda dari berbagai pelosok negeri. Sayangnya, belakangan Diklat Ragunan mulai sayup terdengar. Belum ada lagi atlet top sekelas Susy Susanti, Alan Budikusuma, Yayuk Basuki, Icuk Sugiarto, dan Nurfitriyana Saiman yang lahir dari Diklat Ragunan. Hal itu seiring dengan kian menuanya fasilitas dan bangunan di seputar Diklat Ragunan, bahkan sebagian sudah tidak memadai untuk mengembleng para atlet.

Menurunnya perhatian kepada Diklat Ragunan bisa jadi karena penanganan atau penanggungjawab Diklat tidak dalam satu atap karena ada Dinas Pendidikan dan Dinas Pemuda dan Olahraga. Optimalisasi para pihak tersebut yang perlu menjadi perhatian. Setelah mengujungi Diklat Ragunan, Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, pun mengakui perlu adanya optimalisasi. Menpora mengatakan bahwa mengoptimalkan pusat pelatihan merupakan salah satu kewajibannya. Untuk itu Menpora akan mengupayakan untuk melakukan perbaikan atau mencari solusi lain.

Nah. semoga itu bukan hanya semangat sesaat agar Diklat Ragunan bisa kembali berkibar dan menghasilkan atlet-altet terbaik karena pada kenyataannya memang banyak tunas-tunas muda di Diklat Ragunan yang siap mengharumkan nama bangsa. Tinggal bagaimana sekarang pemerintah melalui pihak-pihak terkait memberikan perhatian dan dukungan yang lebih besar agar kembali melahirkan atlet-atlet terbaik demi membangkitkan kembali olahraga Indonesia.

Sabtu, 03 Oktober 2015

Aset Bernama Budak

Sepak bola telah menjadi sebuah industri yang sangat menggiurkan di dunia. Semua klub berlomba menjadi yang terbesar baik dalam perolehan gelar maupun pendapatan. Setiap pemain bersaing menjadi yang terhebat agar bisa menobatkan diri sebagai pemain dengan nilai tinggi saat masuk bursa transfer, maupun ketika disodorkan kontrak oleh kub dan sponsor.

Perputaran uang di dunia sepak bola luar biasa besar, sejalan dengan value atau nilai serta pendapatan sebuah klub. Semakin tinggi value klub, semakin tinggi pula revenue dan semakin banyak juga celah untuk mengeruk pendapatan.

Menurut Football Benchmark ada tiga wilayah utama pendapatan untuk sebuah klub sepak bola yakni dari Matchday Revenue yang dihasilkan dari pertandingan home melalui penjualan tiket, Broadcast Revenue dari hak siar di liga dan kompetisi lain termasuk ajang internasional, serta Commercial Revenue dari sponsorship, merchandising, licensing, dll.

Kita ambil contoh Real Madrid. Klub ini kerap dinobatkan sebagai klub terkaya di dunia. Pada Mei 2015, value atau nilai klub ini mencapai 3,263 miliar dolar AS atau sekitar 48 triliiun rupiah, jumlah yang lebih besar dari APBN Indonesia 2015 untuk biaya ketertiban dan keamanan yang sebesar 46,1 triliiun rupiah. Value Real Madrid itu didapat dari match day yakni penjualan tiket pertandingan sebesar 608 juta dolar AS, hak siar 1,091 miliar dolar, nilai komersial 1,1 miliar dolar, serta brand 464 juta dolar.

Value tersebut tentu bukan hanya karena 32 gelar juara La Liga yang telah didapat Real Madrid, dan bukan pula sekedar pengoleksi La Decima yakni 10 gelar gelar di Liga Champions, tetapi nilai Real Madrid muncul dari berbagai ekploitasi binis yang dilakukan termasuk memanfaatkan imej para pemain dalam mendapatkan sponsor, serta pengembangan program lisensi dan merchandising terutama berupa replika ofisial jersey pertandingan oleh Adidas.

Seorang ahli keuangan di Inggris, Christine Cooper, dalam sebuah tulisan Insolvency practice in the field of football juga menegaskan bahwa The most important asset of a football club is its cultural capital (football skills), reflected by the economic benefits generated by competing in the most prestigious competitions.

Aset terpenting dalam sebuah tim adalah kemampuan atau kekuatan tim itu sendiri, terutama kekuatan tim di dalam lapangan yang direfleksikan oleh penampilan para pemain. Hal itu menjadi keuntungan ekomomi bagi klub karena jika klub kuat maka suporter akan datang membeli tiket, berbagai gelar bisa diraih, dan dengan sendirinya sponsor berdatangan menawarkan uang.

Benah merahnya keberadaaan pemain di sebuah klub itu sangat penting karena benar-benar bisa mempengaruhi pendapatan klub tersebut. Kembali ke contoh kasus Real Madrid. Setelah membeli David Beckham dari Manchester United pada 2003 dengan nilai transfer 25 juta pound, pendapatan Real Madrid dari merchandise yakni penjualan jersey saja meningkat hingga 67% di musim pertama Beckham di klub itu.

Beckham effect  juga mempengaruhi nilai kontrak Real Madrid dengan para sponsor kala itu seperti Siemens, Adidas, dan Pepsi yang bernilai sekitar 80 juta pound per tahun. Pendapatan dari penjualan tiket naik menjadi 48 juta pound (26%), begitu pula dari hak siar menjadi 44 juta pound (24%), dan 16 juta pound (8%) dari aktivitas promosi seperti tur pra-musim dan pertandingan di luar negeri.

Pengeluaran Real Madrid untuk gaji para pemain sendiri per tahun waktu itu adalah 98 juta pound atau 52% dari omset. Artiya pemain benar-benar ditempatkan sebagai aset terpenting karena faktanya mereka yang benar-benar bisa mempengaruhi pendapatan dan kelangsungan sebuah klub.

Situasi tersebut berbeda 180 derajat, layaknya langit dan bumi jika melihat kondisi di tanah air. Padahal tanggung jawab pemain di lapangan di belahan bumi mana pun sama yakni latihan, bermain, dan memberikan efek yang bagus di lapangan agar suporter selalu datang membeli tiket, serta turut memberi imej yang baik agar sponsor berdatangan.

Ironisnya meski jatuh bangun dan bersimbah peluh di lapangan, sebagian besar pemain di sepak bola Indonesia justru tidak diperlakukan sebagai aset. Mereka diperas tenaga dan waktunya, tetapi tidak diperhatikan kebutuhan pokoknya terutama makanan, tempat tinggal, dan gajinya ditunggak. Beberapa klub bahkan hingga tega tidak membayarkan gaji yang tertunggak kepada pemain.

Pemain bekerja keras untuk memberi pendapatan kepada klub, tetapi klub tidak memberikan haknya kepada pemain, dan ini tak beda dengan perbudakan. Tentu ada yang salah dalam hal ini, terutama sistem dan kapabilitas manajemen di balik pengelola klub jika sampai terjadi kasus-kasus seperti itu. Jadi, jangan harap sepak bola kita bisa maju dan menuju industri jika hal yang paling mendasar yakni menjaga aset terpenting dalam tatanan sepak bola dalam hal ini pemain, tidak mereka lakukan.

Jumat, 19 Juni 2015

Interview Dengan Supperball


1. Bagaimana pendapat Andri mengenai banyaknya pemain profesional
(termasuk kamu) yang memilih tampil di tarkam?

- Pendapat saya bagi pemain yang mengikuti tarkam, itu tidak jadi masalah. Karena kita pemain sepak bola, tentu kita butuh yang namanya pertandingan, agar sentuhan bola dan kondisi fisik tidak turun drastis.

2. Setelah beberapa kali tampil di laga tarkam, mungkin ada pengalaman
menarik? Misalnya khawatir keributan suporter kepada pemain, mengingat
tidak ada jarak antara pemain dan penonton.

- Beberapa kali tampil, dan pengalaman menarik. Kalau anda bilang beberapa kali, saya rasa anda salah, karena saya baru pertama kali ikut pertandingan tarkam di hari Minggu kemarin, dan itu pengalaman pertama saya ikut tarkam selama saya masuk di liga profesional. Saya tidak pernah merasa khawatir dengan keributan seporter, saya rasa pihak panitia penyelenggara sudah menyiapkan keamanan.

3. Bagaimana rasanya bertanding di lapangan yang kurang baik ditambah dengan

keberadaan penonton di pinggir lapangan dekat dengan pemain? Ada perasaan

risih atau khawatir dengan respons negatif dari penonton di pinggir lapangan?

- Rasanya bertandingan di lapangan yang kurang baik, awalnya saya ada rasa takut cedera, tetapi di liga profesional saya juga sering bertemu dengan lapangan yang kurang baik, jadi saya rasa tidak jadi masalah. Perasaan risih ata khawatir dengan respons penonton yang negtif, saya sebagai pemain sudah biyasa karena di liga profesional kita juga sering di teror di dalam lapangan sama penonton, jadi menurut saya bagus untuk melatih mental kita.

4. Label pemain timnas dan Persija tidak membuat kamu gengsi main di tarkam?

- Gengsi main tarkam karena label pemain timnas dan Persija. Awalnya saya sangat menjaga label itu, tetapi semakin lama saya berfikir, kalau saya tidak bermain atau tidak ada pertandingan dalam jangka waktu yang lama, sentuhan dan feeling bermain saya akan hilang, jadi untuk sementara waktu saya harus mekesampingkan label tersebut untuk kebutuhan saya dalam bertanding dan sentuhan bola saya tetap terjaga.

5. Apa pendapat kamu mengenai krisis finansial yang seakan menjadi
lumrah di tubuh manajemen Persija?

- Pendapat saya mengenai krisis financial di Persija. Semesitanya ini bukan hal yang lumrah di dalam club dengan nama besar Persija. Sebenarnya musim lalu kita tidak ada masalah financial, mungkin saya rasa tahun ini kalau liga berjalan lancar Persija tidak terkendala dengan financial, terbukti sudah ada beberapa sponsor yang mau masuk di awal musim, mungkin karena stopnya liga, sponsor juga tidak ingin ambil resiko.

6. Punya keinginan untuk melanjutkan karier di luar negeri mengingat
vakumnya sepak bola Indonesia akibat konflik? Apalagi Greg sudah resmi
ke Liga Thailand sementara Adam Alis juga tengah berkomunikasi dengan
salah satu klub Jepang.

- Ingin melanjutkan karier di luar negeri. Kalau ingin melanjutkan karier di luar, saya ingin, tetapi sampai saat ini belum adanya kesempatan untuk itu.

7. Apa tanggapan Andritany mengenai konflik pemangku kepentingan sepak bola

nasional antara Kemenpora dan PSSI? Dampaknya bagi kamu?

- Pendapat saya tentang konflik PSSI dan Kemenpora. Seharusnya ini tidak semestinya terjadi, kalau memang mereka sama-sama ingin memperbaiki sepak bola Indonesia. Dampaknya bagi saya adalah, tidak adanya pertandingan, karena saya sebagai pemain sepak bola sangat butuh pertandingan, dan terhentinya sumber income dari sepak bola.

8. Apa harapan pemain terhadap masa depan sepak bola indonesia setelah

terkena sanksi?

- Harapan saya untuk sepak bola Indonesia setelah terkena sanksi adalah. Saya berharap Indonesia bisa keluar dari kisruh sepak bola ini. Kemenpora dan PSSI bisa menghidupkan sepak bola Indonesia yang saat ini sedang mati suri. Dan terbentuknya liga yang berkualitas, karena  timnas kita akan berkualitas kalau di pondasikan dengan liga yang berkualitas juga.

9. Terakhir. Bisa diungkapkan rasanya menjadi ayah dan apakah lebih
bersemangat meningkatkan karier lebih baik?

- Rasanya menjadi ayah. Pertama saya bersyukur karena telah di karuniai seorang anak perempuan, dan ini menjadi obat penyemangat saya untuk lebih baik lagi di karier sepak bola.


Selesai....

Rabu, 08 April 2015

Karier

Debut ISL bersama Sriwijaya FC di umur 18 tahun 58 hari, Debut ISL bersama Sriwijaya FC di umur 18 tahun 58 hari, pertandingan Sriwijaya Fc vs Persik Kediri, hari Sabtu 23-Januari-2010, Stadion Jakabaring Palembang.

Debut bersama Persija, Hari Minggu 11-Desember-2011, Persija vs Persiram Raja Ampat, umur 19 tahun 350 hari, stadion Surajaya Lamongan.

Sebelum saya bermain di dua tim besar yang ada di Indonesia, saya sempat merasakan panasnya persaingan Divisi I Liga Indonesia di tahun 2007, bendera yang saya bela saat itu Pesik Kuningan Jawa Barat.

Dan saya juga pernah bergabung bersama tim junior Persib Bandung di tahun 2006 pada saat itu Persib saya bawa menjadi juara di tingkat junior....