Minggu, 15 April 2018

Terima kasih Atas Larangannya

26 Desember 1991, Cipedak Jagakarsa Jakarta Selatan tepat 02.30 pagi lahir bocah laki-laki dengan berat 3,5 kg, dan panjang 52cm bernama Andritany Ardhiyasa. Lahir dari seorang ibu bernama Neni Juliani, dan seorang bapak bernama Talih Ardhiyasa. Saya tumbuh dari keluarga kalangan menengah, bapak saya  pada awalnya seorang scurity bank, dan pensiun sebagai pegawai bank ibu saya seorang ibu rumah tangga. Kami tinggal di kampung yang bernama Cipedak, ketika itu jalan masuk ke rumah masih tanah merah, dan becek saat hujan turun. Hanya ada beberapa rumah saja di desa tersebut pada saat saya lahir, lampu 3 watt  menyinari setiap teras rumah yang ada.

Saat ada pertandingan tinju, atau sepak bola orang tua saya selalu pergi ke rumah tetangga yang memiliki televisi hitam putih, rumah tersebut milik pak Haji Yusup, kebetulan rumah beliau dekat dengan musholah tempat kami sekeluarga sholat. Tidak jarang ketika itu saya, bersama orang tua terutama bapak menonton pertandingan sepak bola atau tinju di rumah beliau.

Orang tua saya di karuniakan dua orang anak, pertama Indra Kahfi Ardhiyasa yang saat ini bermain untuk Bhayangkara Fc, dan yang kedua Andritany Ardhiyasa (saya sendiri). Kami berdua sering barmain bola bersama bahkan sampai garasi rumah dan dua kursi menjadi gawang ketika itu, dengan menggunakan bola tenis kami memainkannya hampir setiap sore, sampai adzan maghrib berkumandang.

Sejak umur 5 tahun saya selalu di belikan bola oleh ayah ketika beliau pulang kerja, bola apa saja yang beliau berika selalu saya mainkan memakai kedua kaki ini. Ketika bermain sore, tidak jarang saya bermain di depan halaman rumah bermain sepak bola bersama teman-teman dan disaat itu saya selalu menjadi penjaga gawang, walau terkadang saya meminta ganti menjadi sebagai penyerang.

Saat umur 7 tahun saya suka ikut kaka bermain sepak bola di lapangan bola volly tanah yang berada di tengah-tengah kebun seorang pedagang nasi uduk lapangan tersebut sering kami sebut San SIro karena banyak daerah saya fans dari Inter Milan, dan juga AC Milan. Di San Siro saya bermain bersama orang yang lebih dewasa dari umur saya, ketika ingin bermain saya selalu di larang menjadi penyerang, karena umur yang masih terbilang lebih muda dari yang lain, kenyataanya saat ini saya berterima kasih kepada orang-orang yang dahulu pernah melarang bermain menjadi seorang penyerang.

sejak umur 6 tahun saya sudah jatuh cinta dengan sepak bola, tidak jarang di ajak oleh bapak ke lapangan walau hanya untuk berlari-lari, atau menonton bapak, dan abang (Indra Kahfi) bermain dengan tim kampung tempat kami tinggal. Dari sana mulai saya belajar bagaimana cara menendang bola yang benar, dan mengontrol bola yang baik.

Pada kenyataannya saya bukan terlahir dari keluarga pesepak bola, tetapi saya dilahirkan di keluarga pencinta olah raga. Bapak, dan ibu saya bukan pure pencinta sepak bola, bahkan bapak dan ibu saya kenyataannya adalah pemain bola volly. Karena terlahir dari keluarga yang pencinta bola volly, saya  dan Indra Kahfi secara otodidak bisa bermain bola volly. Bahkan saat duduk di bangku SMA, Indra Kahfi pernah berada di persimpangan antara sepak bola, atau bolla volly.

Berbeda dengan abang, saya yang sejak 1998 sudah masuk di SSB tidak pernah sedikit saja ada niat keluar dari sepak bola. apa lagi di tambah support dari kedua orang tua yang hampir setiap latihan selalu mendapingi membuat saya lebih termotivasi saat berada di dalam lapangan. Bukan berarti abang tidak di support, orang tua kami sangat memperhatikan perkembangan, dan masa depan kedua anaknya, hingga sampai saat ini kedua orang tua kami masih andil untuk kami menjadi manusia yang lebih baik.

Ketika duduk di bangku sekolah dasar, saya pernah ada didalam persimpangan seperti Indra hanya bedanya adalah saya di persimpangan antara sepak bola, dengan pendidikan. Ketika SSB saya ada latihan setiap satu Minggu ada tiga kali, Selasa, Kamis, dan Minggu untuk hari Minggu tidak menjadi masalah yang besar karena hanya masalah agak sulit bagun tidur di Minggu pagi. Yang menjadi masalah besar adalah Selasa, dan Kamis sore di karanakan saat kelas 3 SD saya harus masuk sekolah siang.

Dengan adanya masalah tersebut saya berdiskusi dengan ibu, dan bapak untuk mencari jalan keluar agar saya dapat menjalankan latihan, dan sekolah. Pada akhirnya saya meminta pindah sekolah agar bisa menjalankan latihan di Selasa, dan Kamis sore. Sekolah saya pindah, pada akirnya tidak lagi berbenturan dengan jadwal latihan, ternyata diluar dugaan ketika menginjak kelas 5 SD terjadi renovasi sekolah yang membuat seluruh kelas harus menumpang di sekolah lain. Dan terjadilah masalah baru antara sekolah, dan sepak bola.

                                            Bersambung.

Senin, 09 April 2018

Rindu

 2006 di sebuah gedung yang kokoh namun sudah berumur. Mess diklat Ragunan mempertemukan saya dengan teman-teman dari seantero negri, bukan hanya dari cabang sepak bola, hampir seluruh cabang olahraga ada di diklat Ragunan. Semua atlet tinggal, dan juga sekolah di dalam kompleks GOR Ragunan, makanan, peralatan sekolah, bahkan sampai peralatan mandi kami mendapatkannya. Saya rasa siapapun yang akan menjadi atlet diklat Ragunan hanya butuh membawa underwear (celana dalam). Dari pengalaman pribadi saya disana ada beberapa atlet yang sering hunting underwear, maka dari itu janganlah kaget ketika segitiga bermuda sering sekali raib.

Di artikel ini saya tidak akan berbicara banyak tentang diklat Ragunan, saya akan menceritakan pertama kali pertemuan saya dengan seorang sahabat, saudara, abang, senior, panutan, atau biasa orang bilang saingan tetapi tidak bagi saya, orang ini adalah seperti apa yang saya sebutkan dari tulisan diatas kecuali “saingan’’.

2007 pertama kalinya saya bertemu dengan orang tersebut, dia pertama kali masuk di diklat Ragunan kelas 2 SMA memang saya terlebih dahulu terdaftar sebagai siswa di Ragunan, ketika itu saya terdaftar sebagai siswa kelas 3 SMP, saat saya naik ke kelas 1 SMA orang tersebut baru terdaftar sebagai siswa Ragunan. Pertama kali ia datang, bergabung dikamar saya.

Pada akhirnya siswa baru tersebut menjadi teman baik saya, banyak waktu yang kami leawatkan bersama dari makan, sekolah, latihan, sampai bolos sekolah untuk main play station di rental kami melakukan bersama. Kami juga sering saling tukar pinjam seperti sepatu bola, sepatu sekolah, belt, tentu tidak dengan underwear. hahaha.

2008 dia memutuskan meninggalkan Ibu Kota setelah melaksanakan UN, daerah di Jawa Timur tempat dia berlabu, tidak lama memulai kerier sebagai pesepak bola profesional dia mendapatkan juara sekaligus sebagai pemain terbaik, pencapaian yang layak dia dapat ketika itu jika kita melihat dari sebuah kerja kerasnya di diklat. Dia orang yang tidak pernah mengenal rasa lelah, dia tidak pernah mengenal menyerah, dia selalu ingin memberika yang terbaik, dia tidak pernah mendengarkan cacian dari seporter, tidak berlebihan jika saya mengatakan dia pantas menjadi seorang nomer satu.

Banyak saat ini orang bertanya kepada saya ‘’sakit apa teman kamu itu?”, saya selalu menjawab “saya pribadi belum tahu pasti penyakit apa yang ia derita, yang pasti saya selalu berdoa apapun sakit yang ia derita cepat diangkat Allah SWT, dan pulih seperti sedia kala.

Tidak hanya satu, atau dua orang yang bertanya kepada saya, mungkin sudah belasan atau bahkan puluhan. Dari semua orang yang bertanya kepada saya, ada beberap yang hanya ingin tahu sakit apa yang ia derita, tetapi tidak sedikit juga orang yang sudah mulai rindu dengan sahabat saya, dan saya rasa seluruh pencinta sepak bola berharap ia bisa kembali lagi merumput bersama klub, dan juga tim Nasional.

Apapun penyakit yang lo terima saat ini gue yakin lo bisa mengalahkannya, gue yakin lo tidak akan pernah menyerah,  gue yakin lo pasti akan bisa kembali.

Saya akan terus menunggu disaat kita bisa berdiri bersama berjarak 110 meter.

Di akhir artikel ini saya titipkan salam rindu dari kami semua yang telah merindukan mu berseragam Garuda di dada.

Lekas pulih, dan lekas kembali.


                                                         TAMAT....