Selasa, 13 Oktober 2015

Ragunan, oh Ragunan...

Suatu hari ketika melakukan kunjungan kerja ke negara Meksiko pada 1972, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, menyempatkan diri mendatangani Sports Centre di Mexico City. Setelah mengamati pusat pelatihan dan pengembangan olahraga, Gubernur yang banyak melakukan banyak perubahan dalam pengembangan Jakarta menjadi kota metropolitan itu tercetus ide untuk membuat tempat serupa di Jakarta.

Empat tahun kemudian Ali Sadikin membangun Sekolah Atlet Ragunan yang kemudian diresmikan pada 15 Januari 1977 oleh Wakil Presiden kala itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sekolah tersebut berada di dalam kompleks Gelanggang Olahraga Ragunan, tidak jauh dari Kebun Binatang Ragunan yang telah berdiri lebih dulu sejak 1966. Bagi sebagian masyarakat, wilayah Ragunan memang lebih identik dengan kebun binatang yang hampir setiap minggu selalu ramai didatangi pengunjung, apalagi saat masa liburan Ragunan akan penuh sesak.

Sejarah Kebun Binatang Ragunan sendiri tidak dapat dipisahkan dari kebun binatang pertama di Indonesia yang dibangun pada 1864 di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, dengan nama Planten En Dierentuin yang berarti Tanaman dan Kebun Binatang. Pada akhirnya kebun binatang pemberian dari Raden Saleh itu pindah tempat setelah pada 1964 Pemerintah DKI menghibahkan tanah sekitar tiga puluh hektar untuk menjadi rumah bagi para satwa. Butuh waktu dua tahun pembangunan rumah satwa, dan pada 22 Juni 1966 Kebun Binatang Ragunan diresmikan oleh Ali Sadikin.

Kontur perhutanan di Ragunan membuat wilayah tersebut terasa sangat sejuk, termasuk di GOR (Gelanggang Olahraga). Saat berada di lokasi tersebut, terkadang saya tidak sadar masih berada di kota Jakarta. Memang tempat dan udaranya berbeda dengan wilayah Jakarta lainnya yang penuh dengan polusi. Maka dari itu GOR Ragunan cukup layak untuk sekedar mencari keringat pada pagi atau sore hari.

Kembali ke Sekolah Atlet Ragunan, dalam perjalannnya Diklat Ragunan banyak melahirkan atlet top yang mampu mengharumkan nama bangsa di kancah olahraga internasional. Pasangan peraih medali emas Olimpiade 1992 di Barcelona cabang bulu tangkis Alan Budikusuma dan Susy Susanti lahir dari gemblengan di Diklat Ragunan. Begitu juga juara dunia bulu tangkis 1983, Icuk Sugiarto.

Masih ada lagi pebulu tangkis Lius Pongoh, lantas petenis yang pernah menempati ranking 19 dunia, Yayuk Basuki, juga muncul dari Sekokah Atlet Ragunan. Begitu pun pepanah Nurfitriyana Saiman yang menyumbang medali pertama untuk Indonesia di Olimpiade bersama Lilies Handayani dan Kusuma Wardani pada Olimpiade 1988 di Seoul.

Di dunia sepak bola, Diklat Ragunan juga banyak menghasilkan pemain bagus dari generasi ke generasi yang bermain di top level sepak bola Indonesia seperti penjaga gawang Arema Malang Kurnia Meiga, pemain tengah Persipura Jayapura Rubben Sanadi dan Ian Lois Kabes, pemain Persib Bandung Abdul Rahman, serta pemain Persija Ramdani Lestaluhu. Dari generasi sebelumnya ada Sudirman, Samsidar, dan masih banyak lagi.

Saya pun lahir dari Diklat Ragunan, salah satu tempat yang membuat saya bisa seperti sekarang ini. Ketika kelas satu Sekolah Dasar saya masuk ke Sekolah Sepak Bola Jayakarta yang memang berlokasi di Ragunan dan masih ada sampai saat ini. Memasuki Sekolah Menengah Pertama, saya pindah ke Senayan dan bergabung dengan tim AS-IOP. Hanya saja ketika kelas tiga SMP, saya harus kembali ke Ragunan, tetapi bukan untuk balik ke Sekolah Sepak Bola yang pernah membesarkan saya, melainkan saya masuk ke Diklat Ragunan.

Ya, saya terdaftar sebagai siswa Sekolah Khusus Atlet SMP/SMA Ragunan. Empat tahun saya ditempa di sana untuk menjadi seorang atlet yang disiplin, bertanggung jawab, dan penuh percaya diri. Selain itu, saya banyak bertemu teman baru yang berasal bukan hanya dari pulau Jawa, tetapi dari Sabang sampai Merauke. Semua suku di Indonesia hampir ada di Ragunan kala itu. Namanya Ragunan, Diklat Ragunan dan Kebun Binatang Ragunan tidak jauh beda, sama-sama beragam. Hampir semua suku di Indonesia kumpul di Diklat dan hampir semua satwa kumpul di Kebun Binatang, Hehehe.

Diklat Ragunan memang menjadi tempat memupuk harapan bagi para atlet muda dari berbagai pelosok negeri. Sayangnya, belakangan Diklat Ragunan mulai sayup terdengar. Belum ada lagi atlet top sekelas Susy Susanti, Alan Budikusuma, Yayuk Basuki, Icuk Sugiarto, dan Nurfitriyana Saiman yang lahir dari Diklat Ragunan. Hal itu seiring dengan kian menuanya fasilitas dan bangunan di seputar Diklat Ragunan, bahkan sebagian sudah tidak memadai untuk mengembleng para atlet.

Menurunnya perhatian kepada Diklat Ragunan bisa jadi karena penanganan atau penanggungjawab Diklat tidak dalam satu atap karena ada Dinas Pendidikan dan Dinas Pemuda dan Olahraga. Optimalisasi para pihak tersebut yang perlu menjadi perhatian. Setelah mengujungi Diklat Ragunan, Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, pun mengakui perlu adanya optimalisasi. Menpora mengatakan bahwa mengoptimalkan pusat pelatihan merupakan salah satu kewajibannya. Untuk itu Menpora akan mengupayakan untuk melakukan perbaikan atau mencari solusi lain.

Nah. semoga itu bukan hanya semangat sesaat agar Diklat Ragunan bisa kembali berkibar dan menghasilkan atlet-altet terbaik karena pada kenyataannya memang banyak tunas-tunas muda di Diklat Ragunan yang siap mengharumkan nama bangsa. Tinggal bagaimana sekarang pemerintah melalui pihak-pihak terkait memberikan perhatian dan dukungan yang lebih besar agar kembali melahirkan atlet-atlet terbaik demi membangkitkan kembali olahraga Indonesia.

Sabtu, 03 Oktober 2015

Aset Bernama Budak

Sepak bola telah menjadi sebuah industri yang sangat menggiurkan di dunia. Semua klub berlomba menjadi yang terbesar baik dalam perolehan gelar maupun pendapatan. Setiap pemain bersaing menjadi yang terhebat agar bisa menobatkan diri sebagai pemain dengan nilai tinggi saat masuk bursa transfer, maupun ketika disodorkan kontrak oleh kub dan sponsor.

Perputaran uang di dunia sepak bola luar biasa besar, sejalan dengan value atau nilai serta pendapatan sebuah klub. Semakin tinggi value klub, semakin tinggi pula revenue dan semakin banyak juga celah untuk mengeruk pendapatan.

Menurut Football Benchmark ada tiga wilayah utama pendapatan untuk sebuah klub sepak bola yakni dari Matchday Revenue yang dihasilkan dari pertandingan home melalui penjualan tiket, Broadcast Revenue dari hak siar di liga dan kompetisi lain termasuk ajang internasional, serta Commercial Revenue dari sponsorship, merchandising, licensing, dll.

Kita ambil contoh Real Madrid. Klub ini kerap dinobatkan sebagai klub terkaya di dunia. Pada Mei 2015, value atau nilai klub ini mencapai 3,263 miliar dolar AS atau sekitar 48 triliiun rupiah, jumlah yang lebih besar dari APBN Indonesia 2015 untuk biaya ketertiban dan keamanan yang sebesar 46,1 triliiun rupiah. Value Real Madrid itu didapat dari match day yakni penjualan tiket pertandingan sebesar 608 juta dolar AS, hak siar 1,091 miliar dolar, nilai komersial 1,1 miliar dolar, serta brand 464 juta dolar.

Value tersebut tentu bukan hanya karena 32 gelar juara La Liga yang telah didapat Real Madrid, dan bukan pula sekedar pengoleksi La Decima yakni 10 gelar gelar di Liga Champions, tetapi nilai Real Madrid muncul dari berbagai ekploitasi binis yang dilakukan termasuk memanfaatkan imej para pemain dalam mendapatkan sponsor, serta pengembangan program lisensi dan merchandising terutama berupa replika ofisial jersey pertandingan oleh Adidas.

Seorang ahli keuangan di Inggris, Christine Cooper, dalam sebuah tulisan Insolvency practice in the field of football juga menegaskan bahwa The most important asset of a football club is its cultural capital (football skills), reflected by the economic benefits generated by competing in the most prestigious competitions.

Aset terpenting dalam sebuah tim adalah kemampuan atau kekuatan tim itu sendiri, terutama kekuatan tim di dalam lapangan yang direfleksikan oleh penampilan para pemain. Hal itu menjadi keuntungan ekomomi bagi klub karena jika klub kuat maka suporter akan datang membeli tiket, berbagai gelar bisa diraih, dan dengan sendirinya sponsor berdatangan menawarkan uang.

Benah merahnya keberadaaan pemain di sebuah klub itu sangat penting karena benar-benar bisa mempengaruhi pendapatan klub tersebut. Kembali ke contoh kasus Real Madrid. Setelah membeli David Beckham dari Manchester United pada 2003 dengan nilai transfer 25 juta pound, pendapatan Real Madrid dari merchandise yakni penjualan jersey saja meningkat hingga 67% di musim pertama Beckham di klub itu.

Beckham effect  juga mempengaruhi nilai kontrak Real Madrid dengan para sponsor kala itu seperti Siemens, Adidas, dan Pepsi yang bernilai sekitar 80 juta pound per tahun. Pendapatan dari penjualan tiket naik menjadi 48 juta pound (26%), begitu pula dari hak siar menjadi 44 juta pound (24%), dan 16 juta pound (8%) dari aktivitas promosi seperti tur pra-musim dan pertandingan di luar negeri.

Pengeluaran Real Madrid untuk gaji para pemain sendiri per tahun waktu itu adalah 98 juta pound atau 52% dari omset. Artiya pemain benar-benar ditempatkan sebagai aset terpenting karena faktanya mereka yang benar-benar bisa mempengaruhi pendapatan dan kelangsungan sebuah klub.

Situasi tersebut berbeda 180 derajat, layaknya langit dan bumi jika melihat kondisi di tanah air. Padahal tanggung jawab pemain di lapangan di belahan bumi mana pun sama yakni latihan, bermain, dan memberikan efek yang bagus di lapangan agar suporter selalu datang membeli tiket, serta turut memberi imej yang baik agar sponsor berdatangan.

Ironisnya meski jatuh bangun dan bersimbah peluh di lapangan, sebagian besar pemain di sepak bola Indonesia justru tidak diperlakukan sebagai aset. Mereka diperas tenaga dan waktunya, tetapi tidak diperhatikan kebutuhan pokoknya terutama makanan, tempat tinggal, dan gajinya ditunggak. Beberapa klub bahkan hingga tega tidak membayarkan gaji yang tertunggak kepada pemain.

Pemain bekerja keras untuk memberi pendapatan kepada klub, tetapi klub tidak memberikan haknya kepada pemain, dan ini tak beda dengan perbudakan. Tentu ada yang salah dalam hal ini, terutama sistem dan kapabilitas manajemen di balik pengelola klub jika sampai terjadi kasus-kasus seperti itu. Jadi, jangan harap sepak bola kita bisa maju dan menuju industri jika hal yang paling mendasar yakni menjaga aset terpenting dalam tatanan sepak bola dalam hal ini pemain, tidak mereka lakukan.